Strategi Peningkatan Pelayanan Air Minum di Indonesia Dengan Pola Public Privat Partnership (PPP)

A. Perhatian Dunia pada Sumber Daya Air

Kelangkaan air secara kualitas maupun kuantitas yang terjadi di hampir seluruh dunia mendorong munculnya perubahan cara pandang terhadap air. Dalam konferensi air dan lingkungan internasional yang diselenggarakan tahun 1992 di Dublin Irlandia, melahirkan The Dublin Statement on Water and Sustainable Develompment (yang lebih dikenal dengan Dublin Principles). Dublin Principles berisi empat prinsip yang harus dikedepankan dalam kebijakan dan pembangunan di sektor sumber daya air. Salah satu dari prinsip tersebut adalah “water has an economic value in all its competing uses and should be recognized as an economic good”. Munculnya Dublin Principles, menyebabkan banyak lembaga-lembaga internasional mereposisi kebijakan mereka di sektor sumberdaya termasuk Bank Dunia. Bahkan Bank Dunia kemudian mengambil peran sentral dalam mengembangkan dan mempromosikan pendekatan-pendekatan baru yang konsisten dengan Dublin Principles terutama memberlakukan air sebagai barang ekonomi[1]. Dalam praktiknya lembaga keuangan internasional menempatkan reformasi sumberdaya air yang memberlakukan air sebagai barang ekonomi dalam satu paket kebijakan neo liberal yang lebih luas dan kebanyakan melalui structural adjustment program[2]. Selain itu agen pembangunan bilateral juga mendorong private sector participation kepada Negara-negara penerima bantuan.

Air bersih atau air minum sangat penting artinya bagi kehidupan manusa. Kajian global kondisi air di dunia yang disampaikan World Water Forum II di Den Haag tahun 2000, memproyeksikan bahwa pada tahun 2025 akan terjadi krisis air di beberapa Negara. Krisis air dapat saja terjadi di Indonesia apabila pemerintah dan perusahaan air minum tidak dapat secara maksimal mengelola asset utamanya.

B. Kondisi Pengelolaan Air Minum Indonesia

Bagi perusahaan air minum, infrastruktur air minum merupakan asset utama yang nilainya signifikan. Oleh karena itu harus dikelola secara baik mulai sejak perencanaan kebutuhan, penyediaan dana, pengadaan asset, pengoperasian, pemeliharaan, hingga pemusnahan asset.

Harus diakui bahwa kondisi infrastruktur terlebih infrastruktur dasar seperti air di Indonesia masih memprihatinkan, terutama setelah krisis ekonomi. Penururnan tersebut terjadi seiring dengan keterbatasan pembiayaan yang dimiliki oleh pemerintah yang dapat dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur. Selain masalah pendanaan, pengaturan dan perawatan infrastruktur juga mengalami penurunan akibat rendahnya kapasitas institusi public baik di pusat maupun daerah dalam manajemen dan perawatan infrastruktur. Kondisi ini pada akhirnya membuat kelompok masyarakat miskin memperoleh efek marginalisasi terbesar. Contoh spesifik di sector air bersih dari sekita 306 PDAM yang ada di Indonesia hanya mampu melayani 33 juta (39%) penduduk perkotaan dn 9 juta (8%) penduduk pedesaan dengan kualitas air yang belum memenuhi standar kualitas air minum, konsumsi air yang rendah (14 m3/;bulan/rumah tangga), dan rata-rata kebocoran 40%. Dari sekian banyak PDAM tersebut hanya 9% dari total PDAM yang ada berada dalam kondisi sehat, sedangkan sisanya dalam keadaan kurang sehat (31%), tidak sehat (32%), kritis (28%). Hutang PDAM saat ini mencapai Rp 4,032 triliun dan dalam kerangka pencapaian MDG’s diperlukan peningkatan kapasitas produksi 155.000 liter/detik, dengan cakupan layanan 80% penduduk perkotaan dan 40% penduduk pedesaan, dan untuk mencapainya dibutuhkan investasi sebesar Rp 25 triliun sedangkan kemampuan pemerintah hanya Rp 600 miliar/tahun, dan diperkirakan ada gap pembiayaan investasi sebesar 19 triliun.

Ada 170 PDAM yang telah melewati jatuh tempo pembayaran utang dengan jumlah utang pokok, denda, dan bunga utang senilai Rp4,3 triliun. Bahkan, utang yang jatuh tempo per tanggal 5 Mei 2008 adalah Rp. 1,3 triliun[3]. Sisanya, 150 PDAM memiliki utang, denda, dan bunga senilai Rp 2 triliun yang belum jatuh tempo.

Dalam beberapa tahun belakangan ini pada sisi yang lain dampak globalisasi ternyata juga mempengaruhi kecenderungan dari perusahaan internasional untuk lebih meluaskan usahanya. Dengan melemahnya kegiatan pembangunan sarana air minum di negara maju karena telah terpenuhinya kebutuhan air minum misalnya maka beberapa perusahaan internasional terutama yang berasal dari Inggris dan beberapa negara Eropa lainnya berusaha untuk mengembangkan aktivitas usahanya dengan menginvestasikan modalnya ke negara-negara di Amerika Latin, dan Asia termasuk Indonesia. Dengan terbatasnya dana pemerintah untuk melakukan investasi dalam sarana publik ini maka peluang swasta terbuka untuk masuk dalam program privatisasi termasuk diantaranya investasi dengan pola built operate dan transfer.

Dengan terbukanya Undang-undang Penanaman Modal Asing No. 25 tahun 2007 dimaksudkan agar lebih menarik investor untuk ikut berpartisipasi dalam program privatisasi di Indonesia khususnya dalam bidang prasarana umum perkotaan seperti jalan, listrik, persampahan, dan juga air minum.

B. Permasalahan Air Minum

Berbagai permasalahan yang dihadapi perusahaan air minum saat ini, seperti: tingginya tingkat kebocoran air yang diproduksi, kapasitas produksi yang belum terpakai, biaya operasional/pemeliharaan untuk menghasilkan air bersih setiap meter kubiknya masih lebih tinggi atau sama dengan harga jual air setiap meter kubiknya, belum dapat terpenuhinya kebutuhan masyarakat akan air minum bersih baik secara kuantitas maupun kualitas, konflik perebutan air baku yang melintasi dua atau lebih pemerintah daerah, adanya daerah yang tidak menyediakan pengaturan air baku, adanya penggundulan hutan di kawasan daerah sungai, kesulitan keuangan, terbelit hutang yang cukup besar dan tidak mampu membayar hutang sesuai jadwal yang telah ditentukan, bahkan tidak sedikit dari perusahaan air minum yang ada, jika ditinjau dari posisi keuangan perusahaan sudah dalam keadaan pailit—mencerminkan belum maksimalnya pengelolaan perusahaan air minum.[4]

Beberapa isu pokok yang berkembang di kalangan masyarakat tentang air minum antara lain, pelayanan PDAM rendah, sedangkan penduduk bertambah. Demikian pula pola hidup dan tatanan sosial, ekonomi dan lingkungan mengalami perubahan. Kondisi ini mengakibatkan permintaan air minum meningkat.

Di sisi lain, kemampuan pemerintahan dalam penyediaan air minum menurun, sementara daya beli masyarakat juga berkurang. Isu lainnya adalah, masyarakat sudah berorientasi hokum sehingga jika pelayanan belum menunjuang, dapat menjadi potensi konflik.

Apabila fungsi air minum tidak tercapai, dan persoalan ini menjadi persoalan nasional yang terakumulatif. Sementara dari segi teknis, terjadi kebocoran tinggi yakni mencapai 45 persen, sebagai akibat dari system dan teknologi penyesiaan air minum yang tidak handal.

Kondisi tersebut diperparah dengan system pengolahan air minum yang berorientasi birokrat. Karena itu untuk meningkatkan pelayanan PDAM, perlu dilakukan program penyehatan PDAM, program subsidi BBM untuk air bersih, menyusun national action plan (NAP) dan rancangan peraturan pemerintah (RRP) dan produk-produk peraturan.

C. Strategi Public Private Partnership untuk Air minum

Ada perbedaan yang cukup signifikan model Public Private Partnership (PPP)—di Indonesia dikenal dengan nama Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS)—dengan privatisasi. Prinsip kerjasama ini adalah saling menguntungkan (pemerintah, swasta, dan masyarakat). Efisiensi, kualitas pelayanan dan pengelolaan infrastruktur meningkat. Hal ini disebabkan oleh peran pemerintah sebagai regulator dan enabler swasta sebagai operator dan provider. Jika dalam privatisasi divestiture, aset milik swasta, dan pemerintah. Sedangkan dengan menggunakan KPS, aset tetap milik pemerintah dan kembali ke pemerintah. Bagi pihak swasta, dalam KPS mempunyai waktu pengelolaan dalam periode tertentu sedangkan dalam privatisasi, swasta mengelola selamanya setelah menjadi hak milik. (Biasanya penjualan aset ini dengan menggunakan IPO dan Strategic Sale).

Tabel 1. Model pengelolaan infrastruktur

Pemerintah

Outsourching

KPS

Privatisasi

Ditangani penuh oleh pemerintah

Manajemen pengelolaan diambil dari pihak luar (bisa dari swasta)

Pengelolaan diserahkan kepada pihak swasta, asset masih tetap milik pemerintah yang dikembalikan setelah pengelolaan selesai

Pengelolaan murni menjadi hak swasta. Perubahan kepemilikan aset (setelah dijual kepada swasta)

Sumber: Elkana Catur H, Pembiayaan kota

Apabila sistem ini dapat berjalan dengan baik akan memberikan dampak positif secara tidak langsung pada iklim daerah tersebut. Pelayanan air bersih yang baik juga dapat memberikan kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan pada daerah tersebut.

Ada beberapa model untuk menjelaskan mengenai Kerjasama Pemerintah Swasta yang bisa dipakai untuk pelayanan air minum, Yaitu, kontrak pelayanan (service contract), kontrak pengelolaan (O&M And Management Contract), kontrak sewa (lease contract), Built Operate Transfer (BOT), perjanjian konsesi (consession). Tabel berikut ini akan melihat perbedaan diantaranya.

Tabel 2. Bentuk-bentuk Kerjasama Pemerintah Swasta

No

Service Contract

Manajemen Contract

Lease Contract

BOT (Built Operate and Transfer)

Concession

1

Tidak ada investasi

Tidak ada investasi

Tidak ada investasi

Ada investasi swasta

Ada investasi swasta

2

Terbatas pada operasional dan manajemen

Pengelolaan perusahaan

Terbatas pada peralatan

Pembangunan sarana

Pengelolaan dan keuangan

3

Keuntungan kecil

Keuntungan kecil

Keuntungan kecil

Biaya renddah, kulaitas tinggi

Menguntungkan

4

Efisiensi terbatas

Efisiensi terbatas

Efisiensi terbatas

Efisiensi tinggi

Efisiensi tinggi

5

Cocok untuk masa krisis

Cocok untuk masa krisis

Cocok untuk kondisi ekonomi yang baik

Cocok untuk kondisi ekonomi yang baik

Sumber: Elkana Catur H, Pembiayaan kota

Pengelolaan air bersih dengan memisahkan sistem dengan membagi menjadi beberapa bagian, yaitu:[5]

1. Sumber air bersih dan konservasi

2. Sistem transmisi, Instalasi Pengelolaan Air (IPA), reservoir, dan pompa (operasi dan pemeliharaan)

3. Sistem disteribusi air bersi (operasi dan pemeliharaan)

4. Administrasi, misalnya pencatatan meteran air.

Masing-masing dari sistem tersebut diserahkan kepada pihak swasta melalui swastanisasi (servis kontrak, manajemen kontrak, sewa, konsesi, dan divestitutre), tetapi khusus untuk Instalasi Pengohan Air (IPA) menggunakan KPS jenis Build Operate Transfer (BOT). Untuk itu setiap pengelolaan air bersih di setiap kota akan berbeda dengan kota lainnya di sebuah kabupaten, misalnya sumber air bersih dan konservasi antara satu kota dengan kota lainnya dikelola dengan perusahaan swasta yang berbeda.

D. Kerangka Regulasi

Regulasi yang mengatur dalam Kerjasama Pemerintah Swasta adalah Keppres No. 7 Tahun 1998 tentang Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha Swasta dalam Pembangunan dan/atau Pengelolaan Infrastruktur. Kemudian diperjelas kembali oleh Perpres No. 67 tahun 2005 tentang Kerjsama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.

Kedua, adalah Keprres No. 81 tahun 2001 tentang Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur dengan diperjelas oleh Perpres No. 42 tahun 2005 tentang Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur.

Adapun Materi Pengaturan Perpres No.67 Tahun 2005, Prinsip-prinsip yang perlu diikuti dalam penyediaan infrastruktur oleh Badan Usaha:

  1. Kerjasama dalam bentuk kemitraan (partnership)
  2. Uji kelayakan kerjasama oleh pemerintah (due dilligence)
  3. Pengelolaan Risiko (Risk management)
  4. Dukungan pemerintah ( Goverment support)
  5. Tatacata pengadaan yang adil, terbuka, transparan, kompetitif, bertanggung gugat, saling menguntungkan (procurement)
  6. Proyek kerjasama atas prakarsa badan usaha (unsolicited project)
  7. Tarif awal dan penyesuaian tarif

Pengaturan mengenai prosedur pengadaan badan usaha yang akan berpartisipasi dalam penyediaan infrastruktur dalam bentuk:

  1. Kerjasam (PPP contract)
  2. Ijin pengusahaan (license)

E. Penutup

Proses kerjasama dengan menggunakan sistem KPS adalah bentuk dari menyerahkan kepada sektor privat untuk dikelola secara lebih baik lagi dengan harapan akan menghasilkan pelayanan yang lebih baik terhadap masyarakat. Sistem ini memberikan dampak positif bagi pengelolaan infrastruktur. Misalnya pada pelayanan air bersih dalam satu daerah dapat dilayani banyak perusahaan air bersih, diantara perusahaan-perusahaan tersebut saling bersaing untuk meningkatkan pelayanan air bersih ke pelanggannya, sehingga dapat memberikan dampak positif, yaitu cakupan pelayanan dapat ditingkatkan, faktor kehilangan air dikurangi, dan yang terutama, adalah perusahaan air bersih dapat secara mandiri melakukan penyediaan air bersih tanpa membebani pemerintah daerah setempat.

Kebijakan pemerintah yang berani sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan air bersih di Indonesia. Dengan menggunakan Kerjasama Swasta Pemerintah (Public Private Partnership) diharapkan akan menguntungkan bagi pemerintah, swasta dan masyarakat.


[1] Pada tahun 1993 WB mengeluarkan kebijakan di sector sumberdaya air (Water Resources Management Policy), dan menurut WB kebijakan ini merefleksikan Rio Earth Summit 1992 dan Dublin Principles. Pada tahun 1998 WB melakukan evaluasi terhadap kebijakan mereka di sector sumberdaya air yang dituangkan dalam dokumen yang berjudul “Bridging Troubled Water: Assesing thr World Bank’s Water Resources Strategy” yang dipublikasikan tahun 2002. Sebagai respon dari laporan evaluasi tersebut pada tahun 2003 Bank Dunia membuat strategi baru di sector sumberdaya air (Water Resources Sector Strategy: Strategic Directions for World Bank Engagement)

[2] Lihat IFI, Conditionality and Privatisation of Water and Sanitation Systems, Report for Water Aid August, 2003,www.wateraid.org

[3] Bisnis Indonesia, Utang PDAM Rp 3 triliun akan dihapus, Senin 5 Mei 2008

[4] Hamong Santono, Restrukturisasi Sumberdaya Air, Privatisasi, dan Pembangunan Infrastruktur Dasar Disampaikan dalam Diskusi Refleksi Akhir Tahun: ”Mengkaji Kebijakan Pembangunan Infrastruktur danPemberantasan Kemiskinan di Indonesia”, Yogyakarta 28 Desember 2005

[5] Sigit Setiyo Pramono, Sistem Unbundling pada pengelolaan Air Bersih di tingkat kota maupun kabupaten, nd.

~ oleh brambontas pada 19 Mei 2008.

2 Tanggapan to “Strategi Peningkatan Pelayanan Air Minum di Indonesia Dengan Pola Public Privat Partnership (PPP)”

  1. Sungguh menarik tulisan anda, anda telah mengkompail sumber data yang akurat. Yang menjadi sangat penting saat ini adalah “Bagaimana masayarakat awam yang selama ini tidak/belum mengetahui tentang manajemen pengelolaan air, dapat memahami dan menerima ungkapan bahwa “Air bukan lagi merupakan barang bebas, tetapi air harus diperlakukan sebagai barang ekonomis”. Masih banyak saudara kita yang menganggap “air” itu adalah “Anugerah Tuhan untuk dinikmati oleh manusia secara alami dan bebas dari komersialisasi”.
    Kami memahami dan akan senantiasa mendukung segala kebijakan yang dapat meningkatkan kesadaran “Saudara Kita” untuk senantiasa menjaga Kuantitas, Kualitas dan Kontinuitas pengelolaan sumber daya air.
    Salam,

  2. kami menunggu via email.

Tinggalkan Balasan ke Pranoto Batalkan balasan